Kamis, 26 Januari 2017

Gedung Kesenian (baca : kesunyian) Ciamis


Terletak di Jl. Ir. H. Djuanda Ciamis, Gedung Kesenian Ciamis (GKC) berdiri megah. Bangunan yang kabarnya menelan biaya pembangunan hingga 5 milyar rupiah itu sejak diresmikan hingga kini masih lebih cocok dijuduli Gedung Kesunyian ketimbang Gedung Kesenian Ciamis. Apa pasal? Ya, itu agaknya lebih sesuai dengan kondisinya nyatanya hari ini. Tiap kali melintas, gedung itu selalu saja kosong, sepi, bahkan tak ada satpam atau manusia lain yang nampak. Yang hadir dan terindra hanya bangunan megah yang dingin, beku, dan beberapa coretan pilok yang lazim disebut sebagai hasil vandalisme.

Saya sebenarnya sudah cukup lama tak lagi mempersoalkan gedung plat merah itu. Terakhir saya menulis dan dimuat di sebuah surat kabar yang tak begitu tenar. Seingat saya 4 kali saya menulis dan hanya sekali ditanggapi oleh Kepala Dinas Kebersihan, Cipta Karya, dan Tata Ruang kab. Ciamis. Kalau sudah ditodong, apalagi yang dilakukan pejabat kecuali cuci tangan dan lempar bola. Ya, lempar batu sembunyi tangan. Saya menyasar semua dari Bappeda, DKCKTR, Disdikbud, Disparekraf, DPRD, bahkan Bupati dan Sekda dalam tulisan. Maksudnya bukan untuk menghantam begitu saja. Saya mengkritisi dan menyarankan solusi yang terpikir terkait persoalan Gedung Kesenian Ciamis. Langkah pertama, ya jelas, harus jumpa dulu antara semua pihak yang saya sebut di atas plus seniman sebagai calon utama pengguna Gedung Kesenian Ciamis (jika memang gedung itu diniatkan utamanya untuk kegiatan-kegiatan kesenian, bukan untuk resepsi pernikahan atau rapat-rapat partai).

Saya kembali tergelitik ihwal gedung ini sebabnya karena perjumpaan saya dengan beberapa orang tadi siang. Sejak pagi hingga siang tadi, saya bersama Direktur WIZ Project menyambangi beberapa tempat. Kami mau jual tiket donasi buat pementasan teater. Ada beberapa nama yang sudah ada dalam daftar calon donatur. Beberapa nama adalah pejabat di pemerintahan kab. Ciamis. Salah satunya di Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) Kabupaten Ciamis. Saat kami berniat menemuinya di kantor mewah itu, ia sedang tak bisa diganggu. Akhirnya kami bercakap dengan seseorang yang di lobi kantor. Ia bertanya tentang maksud kedatangan kami. Kami menjelaskan singkat dan ia balik bertanya “Kenapa nggak di Gedung Kesenian. Kan udah dibangun megah begitu”. Saya bingung mau jawab apa. Masa harus meracau tentang GKC seperti saya menulis. Tadinya mau saya buat panjang, tapi percuma juga. Dia agaknya hanya pegawai yang tak punya kuasa kebijakan. Saya hanya jawab “Mahal sewanya”. Seperti tak puas, “Memangnya sudah kamu tanya dan cari tahu?” Ia segera menimpal. “Kabar-kabarnya sih begitu. Lagi pula sejak awal berdiri, gedung itu hanya pernah digunakan beberapa kali saja, itu pun oleh organisasi atau lembaga yang akrab dengan pemerintah. Atau pemerintahnya itu sendiri” (redaksi dialog-dialog tidak persis seerti itu). Saya memaparkan acara apa saja yang pernah digelar di sana dan siapa saja yang pernah menggunakannya sependek pengetahuan saya. Usai saya bicara agak panjang itu, ia agaknya tak bergairah lagi melanjutkan pembicaraan tentang GKC.

Tak lama menunggu, kami diterima oleh salah satu pejabat, yang jelas ia bukan orang yang hendak kami tuju. Dan alur pembicaraannya hampir mirip dengan percakapan saya di lobi kantor beberapa menit yang lalu. Pejabat itu, sama seperti orang di lobi, tak lagi bergairah melanjutkan percakapan menyoal GKC usai saya menimpali pertanyaannya. Saya juga memang kurang bergairah membicarakannya. Muak, barangkali. Jengah. Atau mungkin juga putus asa. Entahlah. Tapi kemudian saya jadi terpikir dan tergelitik lagi ihwal GKC.

2017, Pemda Ciamis merombak nomenklatur beberapa SKPD. Pejabat-pejabatnya pun baru. Mutasi besar-besaran. Ada apa ya? Entahlah, pastinya. Saya hanya menduga-duga saja. Mungkin sebagian masyarakat Ciamis sudah cukup peka membaca geliat dan gerak politik Ciamis dewasa ini. Terkait perombakan itu, sekarang ada beberapa SKPD baru di lingkungan Pemda Ciamis, diantaranya Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olah Raga. Konon, dinas inilah yang kini mengelola GKC. Pengelolaan gedung ini memang beberapa kali berpindah tangan. Katanya sih karena gedung ini belum 100% beres jadi masih belum ada putusan tetap siapa yang mengelolanya. Dan oleh karena itu juga GKC itu belum punya program apa-apa hingga kini. Itu sih kabar-kabar angin, saya tak tahu pasti. Kalau pun memang demikian, parah juga sistem kerja dan tata kelola Pemda Ciamis, sampai-sampai gedung seharga 5 milyar rupiah bisa mangkrak tanpa nyawa. Mati suri.

Dulu saya mengusulkan beberapa solusi terkait GKC. Pertama, ganti nama. Jangan sebut bangunan itu sebagai gedung kesenian. Fungsi utamanya juga musti ikut diubah. Dan perubahan nama dan fungsi itu harus tertuang dalam regulasi legal. Harus memiliki kekuatan hukumnya. Agar tidak ada gugat menggugat di kemudian hari. Kan bisa diganti menjadi Graha Galuh Indah, atau Gedung Ciamis Selaras, atau Bale Sawala Galuh, misalnya. Atau nama lain yang lebih sesuai dengan bentuk, arsitektur serta fungsi utamanya. Agar Pemda Ciamis tidak terkesan dungu, memberi nama yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Kedua, renovasi. Jika keukeuh bangunan itu harus menjadi gedung kesenian dengan fungsi utama sebagai sarana kegiatan kesenian yang representatif, renovasi adalah jalan paling rasional yang terpikir. Bangunan itu, khususnya interiornya, sangat tidak layak digunakan untuk kegiatan kesenian. Akustik buruk, lantai yang memantulkan cahaya, dinding kanan kiri penuh kaca, pintu kaca, panggung yang tidak memadai tanpa perangkat panggung pertunjukan satu pun, dan sekian lainnya. Jelas harus dibongkar. Didisain ulang menjadi sebuah gedung kesenian yang representatif, mengikuti model gedung kesenian yang sudah ada sebelumnya semisal Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya, Gedung Kesenian Rumentangsiang Bandung, Gedung Kesenian Sunan Ambu, Gedung Kesenian Dewi Asri, Teater Indoor Taman Budaya Jawa Barat, dan banyak contoh lainnya. Atau kalau pun mau dibuat bentuk outdoor juga tak masalah, seperti yang ada di Taman Budaya Jawa Barat, misalnya. Asal ada kesesuaian antara nama, bentuk, fasilitas, dan fungsi utamanya. Kalau masalah fasilitas semisal tata cahaya panggung, kelengkapan fasilitas audio visual, multimedia, perpustakaan, ruang pameran seni, ruang diskusi, dan lainnya bisa bertahap saja pengadaannya. Asal bentuk dasarnya, konstruksinya betul, dalam arti sesuai antara nama, bentuk, dan fungsi utama.

Pilihan pertama atau pun kedua jelas harus melewati musyawarah terlebih dahulu. Idealnya sih begitu, saya kira. Harus ada dialog aktif antara pemerintah, DPRD, dan masyarakat (dalam hal ini seniman) untuk mencapai mufakat. Tentu semuanya harus  terlaksana dengan kepala dingin dan visi yang sama, membangun dan mengembangkan kesenian di Ciamis. Kalau visinya sudah melenceng, ya, akan kacau balau jadinya. Yang satu pihak ingin membangun kesenian Ciamis, yang lain membangun rumah pribadinya dengan megah, ya, repot urusannya kalau begitu.

Saya kira baik solusi pertama atau kedua, itu bukan solusi yang mungkin tak disukai pemerintah. Mereka inginnya yang sederhana saja. Misalnya, penyiasatan ruang. Maksdunya, diganti nama tidak, direnovasi pun tak mau. Alasannya pasti, anggaran. Karena anggaran yang minim, maka jalan tengah adalah solusi terbaik. Begitu kira-kira barangkali mereka akan berpidato. Jalan tengah macam apa? Misalnya, menambahkan peredam suara di dinding-dinding guna memperbaiki kualitas akustik.

Saya sempat berbicara dengan beberapa seniman lain menyoal hal ini. Kalau sama-sama keras, yang memang susah juga. Ketololan sistemik yang sudah mewujud itu akan makin menyedihkan bila tak kunjung ada jalan keluar yang, setidaknya, bisa membuatnya terselamatkan dari judul Gedung Kesunyian Ciamis forever.

Digunakan untuk pentas-pentas tari, teater atau pun musik memang pasti akan sangat mengecewakan. Tapi barangkali pelataran depan gedung itu masih bisa digunakan untuk latihan-latihan, atau mungkin juga acara-acara lain yang tak terlalu masif. Ini ide dari salah satu seniman yang sempat bercakap tentang GKC. Cukup menarik, saya kira. Namun yang pasti, ide apapun, langkah pertama yang harus ditempuh adalah duduk bersama dalam semangat yang sama.

Vita Bravis, Ars Longa...

Rengganis
26 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...